PEMBERLAKUAN HUKUM YANG HIDUP DALAM MASAYARAKAT DI INDONESIA DALAM UPAYA LEGITIMASI HUKUM ADAT DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA YANG BERDAMPAK INKONSISTENSI KUHP.
Kata Kunci:
Legitimasi Hukum Adat, Pembaharuan Hukum, Inkonsistensi KUH.Abstrak
Pemberlakuan Hukum yang hidup dalam masyarakat (Living Law) dalam hal perbuatan dan sanksi pidana disebutkan dalam Buku Kesatu Tentang Aturan Umum Bab I RUANG LINGKUP BERLAKUNYA KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PIDANA yaitu - UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2023 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG--- HUKUM PIDANA Bagian Kesatu: Pasal 1: Tidak ada satu perbuatan apa pun yang dapat dikenai sanks pidana dan/atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan. Dalam menetapkan adanya Tindak Pidana dilarang digunakan analogi. Pasal 2: Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa sescorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang Undang ini. Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-UJndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusi, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa. Ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum dalam masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah. Hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia bersifat Pluralisme karena masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai Suku yang memiliki adat istiadat (Hukum adat) dan sudah berlangsung sejak masyarakat Indonesia ada dan dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hukum Adat didasarkan pada "legitimasi", bukan "legalitas". KUHP bersifat hukum Nasional berupa Undang-undang. Dalam peraturan Perundang-undangan ini terjadi kekaburan hukum dan Inkonsisteni dari KUHP dalam melakukan perbuatan Pidana dan sanksi pidana terhadap pelaku pidana karena adanya Pasal 2 Ayat (3) yang meneyebutkan: Ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum dalam masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sehingga dalam hal ini terjadi pula Peraturan daerah tindak pidana adat menjadi "overlapping" sehingga timbul upaya negara untuk melegalitas Hukum adat dan terjadi Inkonsistensi KUHP . Sehingga perlu di rubah dan diatur bahwa dalam KUHP harus memisahkan antara hukum adat degan hukum nasional.




