PRINSIP KEADILAN DALAM PENENTUAN TENGGANG WAKTU PENGAJUAN BANDING DALAM SENGKETA PAJAK (STUDI TENTANG PASAL 35 UNDANG-UNDANG PENGADILAN PAJAK ATAS PUTUSAN NOMOR 3593/B/PK/PJK/2024)
Abstrak
Penerapan prinsip keadilan dalam penentuan tenggang waktu pengajuan banding memegang peran krusial dalam sistem peradilan pajak, seiring dengan pentingnya pajak sebagai sumber pendanaan utama bagi kesejahteraan rakyat. Dalam hal ini, Analisis terhadap Pasal 35 Undang Undang Pengadilan Pajak dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 3593/B/PK/PJK/2024 menunjukkan bahwa ketentuan tenggat waktu tiga bulan diterapkan secara ketat tanpa mempertimbangkan kondisi konkret wajib pajak. Penolakan permohonan peninjauan kembali karena keterlambatan administratif mencerminkan dominasi prosedural atas keadilan substantif. Dalam perspektif justice as fairness dan prinsip due process of law, penerapan semacam ini berisiko mengabaikan hak wajib pajak untuk memperoleh akses hukum yang adil. Ketegasan pengadilan dalam menegakkan tenggat waktu berdampak pada kepastian hukum, disiplin administratif, dan profesionalisme pengelolaan kewajiban perpajakan. Putusan yang konsisten menolak banding yang diajukan melebihi batas waktu tidak hanya memperkuat kepastian hukum, tetapi juga berfungsi sebagai pedoman bagi wajib pajak, kuasa hukum, dan konsultan pajak dalam menangani sengketa. Dengan demikian, interpretasi hukum yang lebih kontekstual dan responsif diperlukan agar sistem peradilan pajak tidak hanya menjamin kepastian hukum, tetapi juga mampu menegakkan keadilan yang seimbang, meningkatkan transparansi, serta membangun kepercayaan publik terhadap penyelesaian sengketa pajak. Penelitian ini mengkaji penerapan prinsip keadilan dalam penetapan tenggang waktu pengajuan banding menurut Pasal 35 Undang-Undang Pengadilan Pajak, sekaligus menilai pelaksanaan pasal tersebut melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 3593/B/PK/PJK/2024. Metode yang digunakan berupa pendekatan yuridis normatif dengan analisis kualitatif terhadap regulasi, doktrin hukum, dan putusan pengadilan yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa batas waktu tiga bulan dalam Pasal 35 diterapkan secara ketat sebagai syarat formil yang wajib dipenuhi, tanpa memperhatikan keadaan konkret wajib pajak. Penolakan Mahkamah Agung terhadap permohonan peninjauan kembali karena keterlambatan administratif menunjukkan dominasi logika prosedural dibandingkan keadilan substantif. Dari perspektif teori justice as fairness dan prinsip due process of law, pendekatan tersebut berpotensi menghilangkan hak wajib pajak untuk mendapatkan akses hukum yang adil. Dengan demikian, dibutuhkan interpretasi hukum yang lebih kontekstual dan responsif agar peradilan pajak tidak hanya menjamin kepastian hukum, tetapi juga mampu menegakkan keadilan secara seimbang.