KEDUDUKAN HUKUM PELAKU PERINTANGAN PROSES PERADILAN (OBSTRUCTION OF JUCTICE) DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
Kata Kunci:
Tindak Pidana Korupsi, Obstruction of Justice,, KeadilanAbstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana kedudukan hukum pelaku perintangan proses peradilan (Obstruction of Justice) dalam tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 21 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, analasis yang digunakan adalah Putusan Putusan Perkara Nomor 3/Pid.Sus/Tpk/2022/PN.Jmb. Metode penelitian yang digunakan adalah Yuridis Normatif, dengan menggunakan pendekatan konseptual (Conceptual Approach) dan juga pendekatan perundang-undangan (Statute Approach), kemudian peneletian ini juga menggunakan kasus (Case Study) untuk mengetahui pertimbangan hukum apa yang dijadikan dasar penilaian dalam perbuatan perintangan proses peradilan (Obstruction of Justice) pada perkara tersebut sudah memenuhi unsur keadilan atau belum. Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil dua pokok permasalahan yang dapat disimpulkan, Pertama, bahwa penerapan Obstruction of Justice memiliki arti kepada seseorang yang memberikan ide, nasihat, pendapat, pertimbangan, saran atau bahkan perintah kepada pelaku tindak pidana. Kedudukan hukum advokat yang diduga melakukan perintangan proses peradilan (Obtruction of Justice) jika perbuatan yang dilakukan tidak berkaitan dengan tugas profesinya dan tidak didasari oleh Iktikad Baik, hal tersebut didasari pada Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Hak Imunitas Advokat. Kedua, pertimbangan Hakim dalam kasus tersebut memberikan putusan yang kurang tepat dan belum memenuhi unsur keadilan. Dikarenakan tidak adanya kejelasan atau batasan-batasan perihal tindakan apa saja yang termasuk dalam perintangan proses peradilan (obstruction of justice) Hal tersebut menghilangkan makna tujuan filosofis dibentuknya Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.